Breaking News

Minggu, 29 Juli 2018

MAKALAH MAKNA HARI DAN NILAI JUM’AT KLIWON DALAM BUDAYA JAWA


MAKALAH
MAKNA HARI DAN NILAI JUM’AT KLIWON DALAM BUDAYA JAWA



Oleh:
Naeron Aryaf Rifyana
NIM. 1123102001

PROGRAM STUDY KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2017






BAB I

PENDAHULUAN


Masyarakat Indonesia yang lekat dengan ritual kebatinan kerap mengkeramatkan beberapa hari dalam kalender Jawa. Beberapa di antaranya berkembang karena mitos dan dipercayai turun-temurun melalui ritual tertentu. 
Orang jawa memiliki persepsi mengenai waktu yang sangat tajam, bahkan memiliki cara-cara yang rumit untuk menentukan waktu. Mengkombinasikan berbagai sistem penanggalan itu untuk menentukan waktu-waktu yang baik secara religio-magi, guna memulai suatu pekerjaan yang penting.[1] Seperti tindakan-tindakan keagamaan wilujengan/ selametan.[2] Selametan[3] diadakan untuk merespon hampir semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, kematian, perkawinan, sihir, pindah rumah, memohon kepada arwah penjaga desa dan lain sebagainya, semuanya dapat dijadikan alasan diadakannya selametan.[4]
Sebagaimana dalam sebuah harmoni, hubungan yang paling tepat adalah yang dapat dipastikan, tertentu dan bisa diketahui. Orang jawa mengunakan sistem petungan (hitungan) untuk menghindari semacam disharmoni dengan tatanan umum alam.[5] Bagi masyarakat Jawa, angka-angka dianggap keramat, karena angka memiliki makna filosofis yang berbeda-beda, sehingga sebagian masyarakat jawa dalam melakukan tindakan atau suatu pekerjaan yang penting, senantiasa mempertimbangkan jumlah angka yang dikaitkan dengan dina atau hari, serta pasaran (pon, wage, kliwon, legi, paing).[6]
Sementara dalam tradisi masyarakat Jawa, hari jum’at memiliki nilai dan makna khusus apabila dikombinasikan dengan hari tertentu dalam hitungan jawa. Misalnya Jum’at dengan pasaran Kliwon yang berlangsung sebulan sekali (tepatnya 35 hari). Biasanya sebagian masyarakat Jawa pada malam dan hari jum’at kliwon mengadakan berbagai ritual tertentu, seperti ziarah, tirakat, semedi dan sebagainya.
Berbagai sistem keyakinan orang Jawa ini, mengandung konsep mengenai hubungan jalin-menjalin antara segala unsur serta aspek alam semesta ini dan antara lingkungan sosial serta spiritual manusia.[7] Dengan demikian, faktor tersebut berefek pada lahirnya pengaruh psikologis pada manusia berupa rasa takut, rasa ketergantungan, rasa bersalah dan sebagainya yang menyebabkan lahirnya keyakinan pada diri manuisa tersebut. Maka dalam makalah ini dengan kajian budaya Jawa, akan membahas tentang hal tersebut, dan diharapkan dapat digali berbagai alternatif yang dimungkinkan untuk menghindari penyimpangan persepsi dalam memaknai hari jum’at kliwon tersebut.
Berpijak dari latar belakang masalah di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu “ Apa Makna Dan Nilai Hari Jum’at Kliwon Dalam Budaya Jawa” ?
Sehubungan dengan pokok masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah Untuk mengetahui “ Bagaimana Makna Dan Nilai Hari Jum’at Kliwon Dalam Budaya Jawa” ?
a.       Menambah wawasan tentang makna dan nilai hari Jum’at Kliwon tersebut.
b.      Dengan melihat dan mempelajari makna dan nilai Jum’at Kliwon, maka manusia diharapkan akan lebih tau tentang makna dan nilai yang terdapat pada hari tersebut, sehingga bisa mengambil hikmah dalam kehidupan sehari-hari. 



Berbicara tentang kebudayaan, yang ternyata amat beragam seperti yang telah dikemukakan Ki Hajar Dewantara bahwa, kebudayaan berarti segala apa yang berhubungan dengan budaya, sedangkan budaya berasal dari perkataan budi yang dengan singkat diartikan sebagai jiwa yang telah masak. Budaya atau kebudayaan adalah buah budi manusia yang berasal dari perkataan Cultura asal bahasa Latin colere, yang berarti memelihara, memajukan, dan memuja-muja. Dari Sifat Kodrati ke sifat kebudayaan, dari natur menjadi cultuur. Arti kata budi pada pokoknya terdiri dari tiga kekuatan jiwa manusia, yakni: Pikiran, Rasa dan Kemauan (cipta, rasa dan karsa).[8]
Menurut Karkono, kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan lahir batin. Kebudayaan Jawa ini telah ada sejak zaman prasejarah. Kedatangan kebudayaan Hindu di Jawa melahirkan kebudayaan Hindu-Jawa. Kedatangan kebudayaan Islam di Jawa melahirkan kebudayaan Islam dalam satu Kebudayaan Jawa.[9]
Ciri khas kebudayaan Jawa terletak pada kemampuan untuk memberikan dirinya dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme dirangkul, tetapi pada akhirnya dijawakan. Agama Islam masuk ke pulau jawa, tetapi Kebudayaan Jawa hanya semakin menemukan identitasnya.[10] Dengan demikian budaya Jawa yang sampai saat ini merupakan kebudayaan islam yang telah di Jawakan. Inti dari ajarannya adalah Islam, namun dalam pelaksanaanya adalah kejawen.
Ragam kebudayaan Jawa sangat banyak. Sehingga setiap produk kebudayaan Jawa mencermikan kepribadian dan filsafat orang Jawa. Kebudayan Jawa yang penuh dengan simbol-simbol tersebut cenderung mengajarkan tentang kearifan manusianya. Lebih jauh, kebudayaan Jawa mengajarkan perihal hubungan horizontal, antara manusia dengan manusia lainnya dan alam seisinya, serta hubungan transendental yakni antara manusia dan Tuhan.[11]
Masyarakat Jawa sangat erat hubungannya dengan hal-hal bersifat mistik, seperti halnya ketika akan melaksanakan suatu acara atau pekerjaan. Ada waktu “isi” lawan kata waktu “kosong”. Isi atau berisi menggambarkan kepada ketetapan atau kesesuaian antara sifat yang dimiliki oleh waktu yang disebut neptu dengan rencana atau tindakan manusia. Tahun, bulan, hari dan pasaran dipercaya memiliki nilai yang berbeda sehubungan dengan jenis tindakan manusia, untuk perolehan neptu yang baik. Begitu pula sebaliknya jika rencana dan tindakan yang dilakukan tidak sesuai maka hasilnya tidak baik atau akan gagal, karena berada dalam kondisi “kosong”.
Kuswa in Sahid states that:
Petangan, procession, and sesaji in the Javanese wedding ceremony are social activities and rituals that still exist in Javanese society. These activities are traditions that contain values, norms, and spiritual symbolic aspects… These traditional activities are a way of looking for a peaceful life.[12]
Petangan, prosesi, dan sesaji dalam upacara pernikahan Jawa adalah kegiatan sosial dan ritual yang masih ada dalam masyarakat jawa. Kegiatan ini adalah tradisi yang mengandung nilai, norma, dan aspek simbolis spiritual ... Kegiatan tradisional ini adalah cara mencari kehidupan yang damai.
Masyarakat Jawa masih mengenal wuku (perhitungan waktu), dan wuku itu ada hubungannya denga tingkah laku atau tabiaat seseorang. Wuku dikatakan hampir sama dengan ilmu astronomi (perbintangan) atau horoskop.[13] Ini adalah bukti bahwa orang Jawa masih tertarik untuk meramalkan sebuah peristiwa atau nasib seseorang dengan rumit berdasarkan neptu dan pasaran, dan karakteristik tertentu yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan konsep petangan jawi (perhitungan jawa).
Ki Hudoyo Doyodipura mengatakan, adanya pengaruh energi warna pada weton dan manusia yang merupakan efek getaran pancaran kosmis tujuh benda langit. Pancaran cahaya adalah cahaya zodiak yang disebut F-koroni mempunyai pengaruh kuat sekali terhadap alam semesta dan kehidupan karena merupakan energi kosmis. Warna-warni pancaran energi cahaya kosmis adalah sebagai berikut:
1.      Kuning, berpengaruh pada keakuan/ego dan kederajatan.
2.      Hitam, berpengaruh pada kebendaan materialistis.
3.      Hijau, berpengaruh pada rasa kasih sayang dan kekuasaan.
4.      Putih berpengaruh pada jiwa suci, spiritual
5.      Merah berpengaruh pada sifat keras keberanian, kepastian.[14]

Untuk menghitung hari (saptawara) dan pasaran (pancawara) maka harus sesuai dengan neptunya masing-masing[15], sebagaimana dalam tabel berikut:


Tabel 1.
Neptu Hari Dan Pasaran (saptawara)
Hari
Neptu
Pasaran
Neptu
Minggu
5
kliwon
8
Senin
4
legi
5
Saelasa
3
paing
9
Rabu
7
pon
7
Kamis
8
wage
4
Jum’at
6


Sabtu
9


Jumlah
42
Jumlah
33

Tabel 2.
Neptu Bulan Dan Tahun
Bulan
Neptu
Tahun
Neptu
Sura
7
Alip
1
Sapar
2
Ehe’
5
Rabingulawal
3
Jimawal
3
Rabingulakir
5
Je’
7
Jumadilawal
6
Dal
4
Jumadilakir
1
Be’
2
Rajeb
2
Wawu
6
Ruwah
4
Jimakir
3
Pasa
5


Sawal
7


Dulkaidah
1


Besar
3



Pasaran berasal dari kata dasar “ pasar” mendapat akhiran “an”. Pasaran adalah siklus mingguan yang berjumlah 5 hari. Yaitu Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon. Disebut pasaran karena sistem ini lazim dipakai untuk membagi hari buka pasar (tempat untuk jual beli) yang berada di 5 titik tempat. Sistem perekonomian rakyat zaman dahulu diatur dengan pembagian pasar. Yang berjumlah 5 titik tempat mengikuti arah mata angin. Pasar Legi berada di Timur, pasar Paing berada di Selatan, Pasar Pon berada di Barat, pasar wage berada di Utara dan pasar Kliwon berada di pusat atau tengah kota. Pasar ini buka secara bergantian, mengikuti siklus pasaran (pancawara) tersebut.[16] Nama hari-hari sekarang adalah nama hari-hari dalam kalender Sultan Agung yang berasal dari kata-kata Arab, yang dikenal dengan Akhad (minggu), Isnain (senin), Tsulasa (selasa), Arba’a (rabu), Khamis (kamis), Jum’at dan Sabtu.[17]
Petunjuk mengenai watak atau lambang dari jenis hitungan hari:
1.      Hari.
a.       Ahad, wataknya: Samudana (pura-pura), artinya suka kepada lahir, yang kelihatan.
b.      Senen, wataknya: Samuwa (meriah), artinya harus baik segala pekerjaan.
c.       Selasa, watakya: Sujana (curiga), artinya serba tidak percaya.
d.      Rebo, wataknya: Sembada (serba sanggup, kuat), artinya mantap dalam segala pekerjaan.
e.       Kemis, watknya: Surasa (perasa), artinya suka berpikir (merasakan sesuatu) dalam-dalam.
f.       Jumaat, wataknya: suci artinya bersih suci tingkah lakunya.
g.      Sabtu, wataknya: Kesumbung (tersohor), artinya suka pamer.
2.      Pasaran.
a.       Paing, wataknya: Melikan artinya suka kepada barang yang kelihatan.
b.      Pon, wataknya: Pamer artinya suka memamerkan harta miliknya.
c.       Wage, wataknya: Kedher artinya kaku hati.
d.      Kliwon, wataknya: Micara artinya dapat mengubah bahasa.
e.       Legi,  wataknya: Kamot artinya sanggup menerima segala keadaan.[18]
Karakterisrik hari dan pasaran memiliki karakteristik tersendiri yang dipercayai berpengaruh kepada baik dan buruknya segala hal yang akan dikerjakan.
Tabel 4.
Karakteristik Hari Dan Pasaran
Karakteristik Hari Dan Pasaran
Hari (angka)
Pasaran (neptu)
legi (5)
paing (9)
pon (7)
wage (4)
kliwon (8)
Minggu (5)
10 sri kembang
14 sri kembang
12 gigis wunu
9 gigis wunu
13 sri kembang
Senin (4)
9 peso
13 sri agung
11 sri agung
8 sri kembang
12 sri kembang
Selasa (3)
8 peso
12 pathol
10 sri agung
7 gigis wunu
11 sri agung
Rabu (7)
12 sri kembang
16 sri kembang
14 sri kembang
11 sri agung
15 pathol
Kamis (8)
13 sri agung
17 pathol
15 pathol
12 peso
16 sri kembang
Jum’at (6)
11 lakune geni gedhe
15 peso
13 gigis wunu
13 sri agung
14 sri kembang
Sabtu (9)
14 sri kembang
18 sri kembang
16 sri kembang
13 sri agung
17 gigis wunu

Arti watak dan pasaran:
1.      Lakune geni gedhe: watak baik, menggambarkan sumber kekuatan.
2.      Sri kembang: watak baik, mengambarkan kemashuran.
3.      Sri agung: watak baik, menggambarkan kemuliaan.
4.      Pathol: watak buruk, menggambarkan bahaya.
5.      Peso: watak buruk, menggambarkan bahaya.
Masyarakat Jawa Timur lebih milih Jumat Legi adalah saat terbaik dengan karakteristiknya lakune geni gedhe untuk mencari ilmu spiritual, sedangkan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta lebih memilih Jum’at Kliwon dengan karakteristiknya sri kembang yang melambangkan kemashuran.[19]
Hari Jumat sesuai angka neptu berada di Tengah (pancer). Sedangkan Pasaran letak Kliwon juga berada di tengah (pancer). Maka Jumat Kliwon adalah lambang dari diri pribadi sebagai Pancer.
Apabila neptu hari dan pasaran di jumlahkan hasilnya adalah 75 (42+33=75), kemudian apabila dipecah (7 dan 5) merupakan simbol jumlah hari yang ada (7 hari) dan jumlah pasaran (5 hari). Selanjutnya kedua bilangan tersebut dijumlahkan, hasilnya adalah 12 (7+5=12), angka tersebut merupakan simbol jumlah bulan dalan setahun (12 bulan). Sementara itu saptawara dan pancawara jika melihat angka neptu masing-masing akan saling berpasangan.
Minggu-Legi                     5-5
Senin-Wage                      4-4
Selasa-                              3- (tidak memili pasangan)
Rabu-Pon              7-7
Kamis-Kliwon                  8-8
Jum’at                               6- (tidak memili pasangan)
Sabtu-Paing                      9-9      

Hari Jum’at dan Selasa apabila merujuk pada pasangan neptu maka tidak mempunyai pasangan, sehingga disebut dengan dina (hari) sepi atau disebut hari suci. Hari selasa berwatak sujana (artinya tidak percaya), sedangkan hari Jum’at berwatak suci, artinya harus bersih segala tingkah lakunya. Selain itu masyarakat Jawa menganggap hari Jum’at merupakan laku-nya Nabi Muhammad SAW.[20] Sehingga dianjurkan (melek=begadang) untuk melakukan amalan-amalan doa atau dzikir.
Menurut kepercayaan Jawa, perhitungan hari pasaran yang berjumlah lima tersebut, adalah senada dengan ajaran Sedulur Papat, Kelima Pancer (empat saudara kelahiran, kelimanya pusat). Ajaran tersebut mengandung makna bahwa badan manusia yang berupa wadag atau jasad lahir bersama empat unsur atau roh yang berasal dari tanah, air, api, dan udara. Empat unsur itu masing-masing mempunyai unsur di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat dipusat, yakni di tengah. Lima tempat itu adalah juga tempat lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat unsur dan kelimanya pusat itu adalah:
1.      Pasaran legi bertempat di Timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar putih.
2.      Pasaran paing bertempat di Selatan, salah satu tempat dengan unsur api, memancarkan sinar merah.
3.      Pasaran pon bertempat di Barat, salah satu tempat dengan unsur air, memancarkan sinar kuning .
4.      Pasaran wage bertempat di Utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam.
5.      Kelima pusat atau Tengah, adalah tempat sukma atau jiwa, memancarkan sinar manca warna (bermacam-macam).
Dari ajaran sedulur papat kelima pancer dapat telihat bahwa pasaran kliwon yang tempatya di tengah atau pusat merupakan tempat jiwa atau sukma yang memancarkan daya prabawa atau memberikan pengaruh kepada keempat saudara lainnya (unsur sekelahiran).[21]
Masyarakat jawa mempunya makna yang terkait dengan perhitungan waktu, sebab dalam perhitungan waktu terdapat hasil yang berupa lambang, kemudian lambang tersebut memiliki makna yang tidak lain berkaitan dengan baik dan buruk dan dilakukan atau harus dihindari.
Dasar sistem yang cukup berbelit belit ini terletak konsep metafisik jawa yang fundamental: cocog (berarti sesuai). Dalam pengertian yang paling abstrak dan luas, dua hal yang saling terpisah akan cocog apabila perjumpaan mereka membentuk sebuah pola estetis (keindahan). Dengan demikian apa yang penting dalam pandangan ini adalah hubungan alamiah antara elemen-elemen yang terpisah-ruang, waktu, dan motivasi manusia-bagaimana mereka diatur untuk menghasilkan paduan nada dan menghindari ketidak sesuaian.[22]
Dengan demikian untuk menghitung hari Jum’at Kliwon, dari contoh diatas dapat diketahui hasil perhitungannya sebagai berikut:
1.      Warna-warni pancaran energi cahaya kosmis hasilnya berwarna putih. Lambang putih ini berpengaruh terhadap jiwa yang suci (spiritual).
2.      Menurut watak atau lambang dari jenis hitungan, hari Jum’at memiliki watak suci (bersih tingkah lakunya). Sementara Kliwon memiliki watak micara artinya dapat mengubah bahasa. Selain itu apabila neptu hari dan pasaran di jumlahkan, hari Jum’at Kliwon memiliki karakteristik sri kembang yang melambangkan kemasyuran.
3.      Hari Jum’at sesuai dengan neptu berada di tengah (pancer), dan neptu pasaran Kliwon juga berada di tengah (pancer). Maka dikatakan bahwa Jum’at Kliwon adalah peralmbang diri pribadi sebagai Pancer.
4.      Hari Jum’at Kliwon termasuk dino sepi (tidak memiliki pasangan, kosong atau suci).
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka hari Jum’at Kliwon merupakan hari yang melambangkan kesucian. Oleh karena itu sebagian masyarakat jawa menaganggap Jum’at Kliwon di percaya keramat (khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta). Sebab waktu tersebut memacu getaran emosi keramat dan memotivasi sebagian masyarakat Jawa melakukan ritual yang berbau keramat, seperti tirakat, laku[23], semedi, bertapa dan sebagainya untuk mencapai parani­ng-dumadi. [24]
  Sebagai mana hadits dari Abu Lubanah Al-Badri r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
وعن ابي لبابة بن عبد المنذر- رضي الله عنه – قل: رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ان يوم الجمعة سيد الايام يوم الجمعة واعظمها عنده واعظم عند الله عز وجل من يوم الفطر , ويوم الاضحى , وفيه خمس حلال: خلق الله فيه ادم واهبط الله فيه ادم الى الارض وفيه توفى الله ادم وفيه ساعة لا يسال العبد فيها شيئا الا اتاه اله تبرك وتعالى اياه مالم يسأل حراما: وفيه تقوم ( الساعة ) ما من ملك مقرب ولا سماء ولا ارض ولا رياح ولا جبال ولابحر إلا هن ( يشفقن ) من يوم الجمعة.
Dari Abu Lubabah Bin Abdul Mundzir r.a., dia berkata: Rasulullah saw bersabda:Sesunguhnya hari jum’at adalah pemimpin hari dan yang paling agung di sisi Allah, dan hari itu lebih agung di sisi Allah dari hari idul adha dan idul fitri.
Didalamnya terdapat lima perkara: Allah menciptaklan Adam pada hari itu, Allah menurunkan Adam ke bumi pada hari itu, di hari itu  Allah wafatkan Adam, di hari itu ada saat  yang tidaklah seorang hamba memohon sesustu kepada Allah, melainkan Allah akan berikan padanya selagi tidak meminta sesuatu yang haram. Dihari itu (Kiamat) akan terjadi, tidaklah seorangpun dari malaikat yang didekatkan, langit, bumi, angin, gunung-gunung, pepohonan, kecualai mereka semua (merasa takut) terhadap hari Jumat[25]. (HR. Ahmad dan Ibnu Majjah) serta ditakhrij oleh Ahmad dari hadist Sa’ad Bin Ubadah dan para perawinya terpercaya lagi terkenal.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa hari Jum’at merupakan pemimpin bagi hari-hari yang lainnya, dan hari yang diagungkan. Pada saat itu Allah menciptakan asal manuisa (Nabi Adam), Allah mengkasihi hambanya dengan memberikan saat-saat yang di kasihi bagi hambanya yang ingin berhubungan dengan-Nya dan pada hari itu juga ada saat yang dimurkai Allah (kiamat).
Dengan demikian hari jum’at kliwon adalah hari untuk memuja (panembah) Tuhan (Gusti). Manusia ketika ingin berhubungan dengan Dzat Tuhan, maka jiwa/sukma-nya harus bersih dari kotoran yang ada didalam pikiran dan perasaan. Kotoran tersebut adalah dorongan nafsu Aluamah (nafsu angkara murka), Mutmainah (kemurnian atau kejujuran), Amarah (nafsu cepat marah) dan Sufiah (nafsu birahi).[26] Oleh sebab itu hari jumat kliwon disebut juga pancer-nya hari, hari sepi (tidak memiliki pasangan) yang memiliki sifat suci artinya netral tidak memihak.
Nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik dan buruk. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Sistem nilai termasuk nilai budaya dan merupakan pedoman yang dianut oleh setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap dan berperilaku dan juga menjadi patokan untuk menilai dan mencermati bagaimana individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. Oleh karena itu, nilai dapat dilihat sebagai pedoman bertindak dan sekaligus sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.[27]
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, penanggalan menjadi sesuatu yang sangat penting. Masyarakat Jawa selalu berusaha mencari hari-hari yang paling baik dalam rangka melaksanakan sesuatu yang menjadi keinginannya. Kehidupan orang jawa selalu terikat dengan ruang dan waktu. Ruang berarti orang Jawa dalam setiap tingkah laku, yang dalam kehidupannya selalu diatur berbagai aturan. Contoh orang jawa selalu memikirkan tentang ruang ketika mencari jodoh, pindah rumah dan sebagainya. Sedangkan waktu maksudnya orang Jawa memiliki pedoman dalam menentukan hari baik dan buruk.[28] Seperti yang dijelaskan Geertz, petungan merupakan cara untuk menghindari semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa kemalangan.[29]
Oleh sebab itu ketika masyarakat Jawa hendak melakukan suatu kegiatan pasti akan mencari hari-hari yang baik, semua itu karena sifat hati-hati masyarakat Jawa untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan sehingga mendapatkan keselamatan lahir dan batin. Maka tidak ada ukuran atau batasan untuk menentukan baik dan buruk. jika melihat keteranga diatas baik dan buruk merupakan kesepakatan atau pengakuan masyarakat.
1.      Baik Dan Buruk Hubungan Dengan Tuhan
Sifat hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam ajaran Islam bersifat timbal-balik, yaitu bahwa manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan Tuhan juga melakukan hubungan dengan manusia. Tujuan hubungan manusia dengan Allah adalah dalam rangka pengabdian atau ibadah.
Sebagaimana ungkapan dalam bahasa Jawa yang menggambarkan hubungan baik dan buruk hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu “adoh tanpa wangenan, cedhak dhatan senggolan artinya jika seseorang tidak percaya akan adanya Tuhan, keberadan Tuhan tidak dapat dibayangkan karena begitu abstrak (adoh tanpa wangenan) . Sebaliknya, jika seseorang percaya akan adanya Tuhan meskipun tidak dapat bersentuhan secara fisik tetapi dapat dirasakan keberadaannya setiap saat (cedak dhatan senggolan).[30]
Ungkapan tersebut mengingatkan penulis pada ungkapan peribahasa yaitu “ sopo nandhur bakal ngundhuh”. artinya siapa yang menanam kebaikan atau keburukan akan mendapat hasilnya berupa kebaikan atau keburukan. Menurut Pranowo dalam Ni Wayan Sartini, ungkapan tersebut melatarbelakangi tentang adanya ketidakmampuan manusia menerangkan seluruh gejala alam yang dilihat dan dirasakannya, keinginan manusia untuk mencari sandaran hidup yang dapat menentukan karsa, cipta dan karyanya, serta adanya kedekatan hubungan antara orang Jawa dengan Sang Maha Pencipta.[31]
2.      Baik Dan Buruk Hubungan Manusia Dan Alam
Konsep mengenai nasib yang telah dibicarakan diatas juga menentukan sikap orang Jawa terhadap kekuatan alam. Orang Jawa lebih memilih menyesuaikan diri, walaupun demikian bukan berarti mereka tidak memiliki rasa untuk takluk terhadap kekuatan alam, hanya saja mereka tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa, sehingga mereka lebih memilikih untuk hidup berdampingan dengan alam.
Sebagai contoh, orang jawa merasa berkewajiban memayu-ayuning bawana (artinya memperindah keindahan dunia).[32] Artinya orang jawa memiliki kewajiban untuk memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya, seperti pekarangan, sungai, jalan, desa dan sebagainya.
Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan, orang wajib memelihara lingkungan spiritualnya, yakni adat, tatacara,cita-cita dan nilai budaya yang umum terdapat dalam masyarakat.[33] Dengan demikian mereka telah melakukan usaha yang paling berarti dalam hidup, yaitu berusaha hidup selaras walaupun mereka sadar ada yang tidak dapat dihindari dari alam, berupa bencana alam yang membawa kehancuran dan maut.
3.      Baik Dan Buruk Hubungan Manusia Dengan Sesamanya
Tingkah-laku dan sopan santun orang jawa memang sangat  terorientasi secara kolateral (sejajar). Hal yang menonjol dari cara berfikir seperti itu menunjukan bahwa perasaan orang tidak berada sendiri di dunia, dan ia  selalu dapat mengaharapkan bantuan dari sesamanya, terutama kerabat dekat dan tetangga dekatnya, yang sebaliknya juga mengharapkan hal yang sama. Dengan demikian wajib menjaga hubungan baik dengan memperhatikan kebutuhan mereka dan menempatkan diri pada keadaan mereka (tepa slira).[34]
Upaya tersebut merupakan bentuk bahwa orang Jawa memiliki cara berfikir untuk menghindari kaidah atau kekuatan alamiah yang disebut kuwalat. Oleh karena itu ada ungkapan yang mengatakan “tiyang sepuh punika malati” artinya orang tua itu menyebabkan kuwalat.[35] Sikap tersebut menunjukan bahwa orang Jawa memiliki sifat bertanggung jawab atas kebaikan pada diri sendiri, dengan memperhatikan hubungan baik dan menempatkan posisinya terhadap sesamanya, karena penilaian orang Jawa terhadap sesuatu yang negatif adalah mereka tidak memiliki nilai budaya kolateral dengan manusian dan lingkungannya.


Hari Jum’at Kliwon sesuai dengan ajaran sedulur papat kelima pancer, dapat dimaknai sebagai pusat spiritual (sukma sejati) yang bersifat netral (tidak bersifat positif dan tidak bersitat negatif), pancer yang dilambangkan juga dengan ego-manusia. Hari Jum’at Kliwon adalah wadah untuk mendapatkan ilmu sejati, untuk mencapai Sangkan-Paraning-Dumadi. Maka paraning manusia adalah Tuhan, sehingga hari Jum’at Kliwon adalah hari-Nya Tuhan. Hari yang sepi, hari yang suci untuk menjalin hubungan harmonis antara kawula (Manusia) dan Gusti (Tuhan) secara penuh.
Hari jum’at Kliwon adalah hari yang suci, hari yang tepat untuk memulai laku, menetralkan segala urusan yang bersifat keduniawian, melalui kebersihan hati dan tindakannya. Karena hati yang suci merupakan hubungan yang serasi antara manusia dan Tuhan.
Kebaikan atau keburukan yang hadir dalam diri masyarakat Jawa sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap mereka, karena mereka yakin bahwa perilaku manusia dan berhasil tidaknya manusia dalam menjalankan suatu hal ditentukan oleh tatanan hubungan terhadap Tuhan atau kekuatan supranatural tersebut.



Al Asqalani, Alhafizh Syihabbudin Ahmad bin Ali bin Hajar.2006. Mukhtashar At-Atarghib Wa At-Tarhib, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Clifford Geertz. 2017. Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, Depok: Komunitas Bambu.
Karkono Kamajaya Partokusumo.1995. Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.
Soemodidjojo. 2014. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa.
Soesilo. 2004.  Kejawen; Philosofi Dan Perilaku, Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri.
Sri Wintala Achad. 2017. Asal Usul Dan Sejarah Orang Jawa, Yogyakarta: Araska.
Wiyasa Bratawijaya, Thomas. 1998. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Eli Fatmawati, Makna Mitologi Ahad Wage Di Desa Jragung Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak, Semarang: 2014, hlm. 9. Di unduh dari eprints.walisongo.ac.id/3854/ pada kamis 22 Desember 2017. Pukul 20.00 WIB.
Sahid Teguh Widodo, Petangan Tradition In Javanese Personal Naming Practice; An Ethnoliguistic Study, dalam GEMA Online Tm Journal Of Language Studies Volume 12(4), November  2012. Diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/286611457_Petangan_tradition_in_Javanese_personal_naming_practice_An_ethnoliguistic_study
https://kyaimbeling.wordpress.com/mitologi-pasaran-dan-hari/ diunduh pada 19 Juli 2017 pukul 22.00 WIB
https://glang1991.wordpress.com/2013/01/10/hari-menurut-spiritual-jawa/ di unduh pada Rabu 4 Januari 2017 pada 22.00 WIB.



[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 439.
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....hlm. 341.
[3] Selametan memiliki sifat keramat dan tidak memiliki sifat keramat. yang bersifat keramat adalah selametan yang mana orang mengadakannya merasakan getaran emosi keramat, terutama pada waktu menentukan diadakannya selametan tersebut (rangkaian upacara kematian pada hari ketujuh, ke empat puluh, keseratus, keseribu). Sementara selametan yang tidak bersifat keramat adalah selametan yang mana orang mengadakannya tidak merasakan getaran emosi keramat (pernikahan dan lain-lain). Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa,hlm. 347.  
[4] Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, Depok: Komunitas Bambu, 2017, hlm. 3.
[5] Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, hlm. 32.
[6] Sri Wintala Achad, Asal Usul Dan Sejarah Orang Jawa, Yogyakarta: Araska, 2017, hlm. 129.
[7] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....hlm. 441.
[8] Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI, 1995,hlm. 191.
[9] Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam, hlm. 193.
[10] Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam....hlm. 257.
[11] Sri Wintala Achad, Asal Usul Dan Sejarah Orang Jawa....hlm. 15.
[12] Sahid Teguh Widodo, Petangan Tradition In Javanese Personal Naming Practice; An Ethnoliguistic Study, dalam GEMA Online Tm Journal Of Language Studies Volume 12(4), November  2012. Diunduh pada Rabu 4 Januari 2017 pada 22.00 WIB.

[13] Thomas Wiyasa Bratawijaya, Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 64.
[14] Eli Fatmawati, Makna Mitologi Ahad Wage Di Desa Jragung Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak, Semarang: 2014, hlm. 9. Di unduh dari eprints.walisongo.ac.id/3854/ pada kamis 22 Desember 2017. Pukul 20.00 WIB.
[15] Soemodidjojo, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa, 2014, hlm. 7.
[16] Eli Fatmawati, Makna Mitologi Ahad Wage Di Desa Jragung Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak, Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2014, hlm. 10.
[17] https://kyaimbeling.wordpress.com/mitologi-pasaran-dan-hari/ diunduh pada tanggal 19 juli 2017 pukul 22.00 WIB
[18] Karkono Kamajaya Prtokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Kliwon...... hlm. 229.
[19] https://glang1991.wordpress.com/2013/01/10/hari-menurut-spiritual-jawa/ di unduh pada Rabu 4 Januari 2017 pada 22.00 WIB.
[20] Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam....hlm.269.
[21] https://kyaimbeling.wordpress.com/mitologi-pasaran-dan-hari/ diunduh pada 19 Juli 2017 pukul 22.00 WIB
[22] Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, hlm. 32.
[23] Perkataan Laku dalam bahasa Jawa berarti jalan, ada yang berarti perbuatan. Lku yang dimaksud disini adalah tindakan untuk mengkontrol diri pribadi untuk mengurangi atau mencegah tuntutan kepentingan jasmaniah, dan mengurangi keinginan hawa nafsu, sehingga laku disini adalah sarana untuk membangkitkan kekuatan rohaniah dengan menyembah Tuhan sehingga memperkuat permohonan kepada tuhan agar terkabulkan pengharapannya. Lihat Soesilo, Kejawen; Philosofi Dan Perilaku, Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri, 2004, hlm.29.
[24] sangkan paraning dumadi memiliki arti harfiah sangkan (asar atau dasar), paraning (tujuan), dan dumadi (hidup). dengan demikian, hal tersebut memiliki pengertian asal dan tujuan kehidupan manusia dalam jagad raya. Lihat Sri Wintala Achad, Asal Usul Dan Sejarah Orang Jawa....hlm. 132.
[25] Al Asqalani, Alhafizh Syihabbudin Ahmad bin Ali bin Hajar, Mukhtashar At-Atarghib Wa At-Tarhib, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006, hlm. 138-139.
[26] Soesilo, Kejawen; Philosofi Dan Perilaku, Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri, 2004, hlm. 156.
[27] Ni Wayan Sartini, Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka Dan Paribasa , dalam Jurnal Ilmu Bahasa Dan Sastra, Volume V, No. 1, April 2009, hlm. 30. di unduh dari https://s3.amazonaws.com/academia.edu. Bahasa dan Sastra Logat Vol 5 No 1 April 2009.pdf
[28] Eli Fatmawati, Makna Mitologi Ahad Wage Di Desa Jragung Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak, hlm.18.
[29] Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, hlm. 32.
[30] Ni Wayan Sartini, Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka Dan Paribasa....hlm. 34.
[31] Ni Wayan Sartini, Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka Dan Paribasa....hlm. 35
[32] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....hlm. 438.
[33] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....hlm. 438.
[34] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....hlm. 441.
[35] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....hlm. 442.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By