MAKALAH
MAKNA HARI DAN
NILAI JUM’AT KLIWON DALAM BUDAYA JAWA
Oleh:
Naeron Aryaf
Rifyana
NIM. 1123102001
PROGRAM STUDY KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2017
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat
Indonesia yang lekat dengan ritual kebatinan kerap mengkeramatkan beberapa hari dalam kalender
Jawa. Beberapa di antaranya berkembang karena mitos dan dipercayai
turun-temurun melalui ritual tertentu.
Orang jawa memiliki
persepsi mengenai waktu yang sangat tajam, bahkan memiliki cara-cara yang rumit
untuk menentukan waktu. Mengkombinasikan berbagai sistem penanggalan itu untuk
menentukan waktu-waktu yang baik secara religio-magi, guna memulai suatu
pekerjaan yang penting.[1] Seperti tindakan-tindakan
keagamaan wilujengan/ selametan.[2] Selametan[3] diadakan untuk merespon hampir
semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran,
kematian, perkawinan, sihir, pindah rumah, memohon kepada arwah penjaga desa
dan lain sebagainya, semuanya dapat dijadikan alasan diadakannya selametan.[4]
Sebagaimana dalam
sebuah harmoni, hubungan yang paling tepat adalah yang dapat dipastikan,
tertentu dan bisa diketahui. Orang jawa mengunakan sistem petungan
(hitungan) untuk menghindari semacam disharmoni dengan tatanan umum alam.[5] Bagi masyarakat Jawa,
angka-angka dianggap keramat, karena angka memiliki makna filosofis yang
berbeda-beda, sehingga sebagian masyarakat jawa dalam melakukan tindakan atau
suatu pekerjaan yang penting, senantiasa mempertimbangkan jumlah angka yang
dikaitkan dengan dina atau hari, serta pasaran (pon, wage, kliwon, legi,
paing).[6]
Sementara dalam
tradisi masyarakat Jawa, hari jum’at memiliki nilai dan makna khusus apabila
dikombinasikan dengan hari tertentu dalam hitungan jawa. Misalnya Jum’at dengan
pasaran Kliwon yang berlangsung sebulan sekali (tepatnya 35 hari).
Biasanya sebagian masyarakat Jawa pada malam dan hari jum’at kliwon mengadakan
berbagai ritual tertentu, seperti ziarah, tirakat, semedi dan sebagainya.
Berbagai sistem
keyakinan orang Jawa ini, mengandung konsep mengenai hubungan jalin-menjalin
antara segala unsur serta aspek alam semesta ini dan antara lingkungan sosial
serta spiritual manusia.[7] Dengan demikian, faktor
tersebut berefek pada lahirnya pengaruh psikologis pada manusia berupa rasa takut,
rasa ketergantungan, rasa bersalah dan sebagainya yang menyebabkan lahirnya
keyakinan pada diri manuisa tersebut. Maka dalam makalah ini dengan kajian
budaya Jawa, akan membahas tentang hal tersebut, dan diharapkan dapat digali
berbagai alternatif yang dimungkinkan untuk menghindari penyimpangan persepsi
dalam memaknai hari jum’at kliwon tersebut.
Berpijak dari latar belakang masalah
di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah
ini yaitu “ Apa Makna Dan Nilai Hari Jum’at Kliwon Dalam Budaya Jawa” ?
Sehubungan dengan pokok masalah
diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah Untuk mengetahui “ Bagaimana
Makna Dan Nilai Hari Jum’at Kliwon Dalam Budaya Jawa” ?
a.
Menambah
wawasan tentang makna dan nilai hari Jum’at Kliwon tersebut.
b.
Dengan
melihat dan mempelajari makna dan nilai Jum’at Kliwon, maka manusia diharapkan
akan lebih tau tentang makna dan nilai yang terdapat pada hari tersebut,
sehingga bisa mengambil hikmah dalam kehidupan sehari-hari.
Berbicara tentang kebudayaan, yang
ternyata amat beragam seperti yang telah dikemukakan Ki Hajar Dewantara
bahwa, kebudayaan berarti segala apa yang berhubungan dengan budaya, sedangkan
budaya berasal dari perkataan budi yang dengan singkat diartikan sebagai
jiwa yang telah masak. Budaya atau kebudayaan adalah buah budi
manusia yang berasal dari perkataan Cultura asal bahasa Latin colere,
yang berarti memelihara, memajukan, dan memuja-muja. Dari Sifat
Kodrati ke sifat kebudayaan, dari natur menjadi cultuur. Arti
kata budi pada pokoknya terdiri dari tiga kekuatan jiwa manusia, yakni:
Pikiran, Rasa dan Kemauan (cipta, rasa dan karsa).[8]
Menurut Karkono, kebudayaan Jawa
adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan,
cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan
lahir batin. Kebudayaan Jawa ini telah ada sejak zaman prasejarah. Kedatangan
kebudayaan Hindu di Jawa melahirkan kebudayaan Hindu-Jawa. Kedatangan
kebudayaan Islam di Jawa melahirkan kebudayaan Islam dalam satu Kebudayaan
Jawa.[9]
Ciri khas kebudayaan Jawa terletak
pada kemampuan untuk memberikan dirinya dibanjiri oleh gelombang-gelombang
kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme dirangkul, tetapi pada
akhirnya dijawakan. Agama Islam masuk ke pulau jawa, tetapi Kebudayaan Jawa
hanya semakin menemukan identitasnya.[10]
Dengan demikian budaya Jawa yang sampai saat ini merupakan kebudayaan islam
yang telah di Jawakan. Inti dari ajarannya adalah Islam, namun dalam
pelaksanaanya adalah kejawen.
Ragam kebudayaan Jawa sangat banyak.
Sehingga setiap produk kebudayaan Jawa mencermikan kepribadian dan filsafat
orang Jawa. Kebudayan Jawa yang penuh dengan simbol-simbol tersebut cenderung
mengajarkan tentang kearifan manusianya. Lebih jauh, kebudayaan Jawa mengajarkan
perihal hubungan horizontal, antara manusia dengan manusia lainnya dan alam
seisinya, serta hubungan transendental yakni antara manusia dan Tuhan.[11]
Masyarakat Jawa sangat erat
hubungannya dengan hal-hal bersifat mistik, seperti halnya ketika akan
melaksanakan suatu acara atau pekerjaan. Ada waktu “isi” lawan kata waktu
“kosong”. Isi atau berisi menggambarkan kepada ketetapan atau kesesuaian antara
sifat yang dimiliki oleh waktu yang disebut neptu dengan rencana atau tindakan
manusia. Tahun, bulan, hari dan pasaran dipercaya memiliki nilai yang berbeda
sehubungan dengan jenis tindakan manusia, untuk perolehan neptu yang baik.
Begitu pula sebaliknya jika rencana dan tindakan yang dilakukan tidak sesuai
maka hasilnya tidak baik atau akan gagal, karena berada dalam kondisi “kosong”.
Kuswa in Sahid states that:
Petangan, procession, and sesaji in the Javanese wedding ceremony
are social activities and rituals that still exist in Javanese society. These
activities are traditions that contain values, norms, and spiritual symbolic aspects…
These traditional activities are a way of looking for a peaceful life.[12]
Petangan, prosesi, dan sesaji dalam upacara pernikahan Jawa adalah
kegiatan sosial dan ritual yang masih ada dalam masyarakat jawa. Kegiatan ini
adalah tradisi yang mengandung nilai, norma, dan aspek simbolis spiritual ...
Kegiatan tradisional ini adalah cara mencari kehidupan yang damai.
Masyarakat Jawa masih mengenal wuku
(perhitungan waktu), dan wuku itu ada hubungannya denga tingkah laku atau
tabiaat seseorang. Wuku dikatakan hampir sama dengan ilmu astronomi
(perbintangan) atau horoskop.[13] Ini adalah bukti bahwa orang Jawa masih tertarik untuk meramalkan sebuah
peristiwa atau nasib seseorang dengan rumit berdasarkan neptu dan pasaran,
dan karakteristik tertentu yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan konsep petangan jawi (perhitungan jawa).
Ki Hudoyo Doyodipura mengatakan,
adanya pengaruh energi warna pada weton dan manusia yang merupakan efek getaran
pancaran kosmis tujuh benda langit. Pancaran cahaya adalah cahaya zodiak yang
disebut F-koroni mempunyai pengaruh kuat sekali terhadap alam semesta dan
kehidupan karena merupakan energi kosmis. Warna-warni pancaran energi cahaya
kosmis adalah sebagai berikut:
1.
Kuning,
berpengaruh pada keakuan/ego dan kederajatan.
2.
Hitam,
berpengaruh pada kebendaan materialistis.
3.
Hijau,
berpengaruh pada rasa kasih sayang dan kekuasaan.
4.
Putih
berpengaruh pada jiwa suci, spiritual
5.
Merah
berpengaruh pada sifat keras keberanian, kepastian.[14]
Untuk menghitung hari (saptawara)
dan pasaran (pancawara) maka harus sesuai dengan neptunya masing-masing[15],
sebagaimana dalam tabel berikut:
Tabel 1.
Neptu Hari Dan
Pasaran (saptawara)
Hari
|
Neptu
|
Pasaran
|
Neptu
|
Minggu
|
5
|
kliwon
|
8
|
Senin
|
4
|
legi
|
5
|
Saelasa
|
3
|
paing
|
9
|
Rabu
|
7
|
pon
|
7
|
Kamis
|
8
|
wage
|
4
|
Jum’at
|
6
|
||
Sabtu
|
9
|
||
Jumlah
|
42
|
Jumlah
|
33
|
Tabel 2.
Neptu Bulan Dan
Tahun
Bulan
|
Neptu
|
Tahun
|
Neptu
|
Sura
|
7
|
Alip
|
1
|
Sapar
|
2
|
Ehe’
|
5
|
Rabingulawal
|
3
|
Jimawal
|
3
|
Rabingulakir
|
5
|
Je’
|
7
|
Jumadilawal
|
6
|
Dal
|
4
|
Jumadilakir
|
1
|
Be’
|
2
|
Rajeb
|
2
|
Wawu
|
6
|
Ruwah
|
4
|
Jimakir
|
3
|
Pasa
|
5
|
||
Sawal
|
7
|
||
Dulkaidah
|
1
|
||
Besar
|
3
|
Pasaran berasal dari kata dasar “
pasar” mendapat akhiran “an”. Pasaran adalah siklus mingguan yang berjumlah 5
hari. Yaitu Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon. Disebut pasaran karena sistem
ini lazim dipakai untuk membagi hari buka pasar (tempat untuk jual beli) yang
berada di 5 titik tempat. Sistem perekonomian rakyat zaman dahulu diatur dengan
pembagian pasar. Yang berjumlah 5 titik tempat mengikuti arah mata
angin. Pasar Legi berada di Timur, pasar Paing berada di Selatan, Pasar Pon
berada di Barat, pasar wage berada di Utara dan pasar Kliwon berada di pusat
atau tengah kota. Pasar ini buka secara bergantian, mengikuti siklus pasaran
(pancawara) tersebut.[16]
Nama hari-hari sekarang adalah nama hari-hari dalam kalender Sultan Agung yang
berasal dari kata-kata Arab, yang dikenal dengan Akhad (minggu), Isnain
(senin), Tsulasa (selasa), Arba’a (rabu), Khamis (kamis), Jum’at dan Sabtu.[17]
Petunjuk mengenai watak atau lambang
dari jenis hitungan hari:
1.
Hari.
a.
Ahad, wataknya: Samudana (pura-pura), artinya suka kepada lahir,
yang kelihatan.
b.
Senen, wataknya: Samuwa (meriah), artinya harus baik segala
pekerjaan.
c.
Selasa, watakya: Sujana (curiga), artinya serba tidak percaya.
d.
Rebo, wataknya: Sembada (serba sanggup, kuat), artinya mantap
dalam segala pekerjaan.
e.
Kemis, watknya: Surasa (perasa), artinya suka berpikir (merasakan
sesuatu) dalam-dalam.
f.
Jumaat, wataknya: suci artinya bersih suci tingkah lakunya.
g.
Sabtu, wataknya: Kesumbung (tersohor), artinya suka pamer.
2.
Pasaran.
a.
Paing, wataknya: Melikan artinya suka kepada barang yang
kelihatan.
b.
Pon,
wataknya: Pamer artinya suka memamerkan harta miliknya.
c.
Wage,
wataknya: Kedher artinya kaku hati.
d.
Kliwon,
wataknya: Micara artinya dapat mengubah bahasa.
Karakterisrik hari dan pasaran
memiliki karakteristik tersendiri yang dipercayai berpengaruh kepada baik dan
buruknya segala hal yang akan dikerjakan.
Tabel 4.
Karakteristik
Hari Dan Pasaran
Karakteristik
Hari Dan Pasaran
|
|||||
Hari
(angka)
|
Pasaran
(neptu)
|
||||
legi
(5)
|
paing
(9)
|
pon
(7)
|
wage
(4)
|
kliwon
(8)
|
|
Minggu (5)
|
10
sri kembang
|
14
sri kembang
|
12
gigis wunu
|
9
gigis wunu
|
13
sri kembang
|
Senin (4)
|
9
peso
|
13
sri agung
|
11
sri agung
|
8
sri kembang
|
12
sri kembang
|
Selasa (3)
|
8
peso
|
12
pathol
|
10
sri agung
|
7
gigis wunu
|
11
sri agung
|
Rabu (7)
|
12
sri kembang
|
16
sri kembang
|
14
sri kembang
|
11
sri agung
|
15
pathol
|
Kamis (8)
|
13
sri agung
|
17
pathol
|
15
pathol
|
12
peso
|
16
sri kembang
|
Jum’at (6)
|
11
lakune geni gedhe
|
15
peso
|
13
gigis wunu
|
13
sri agung
|
14
sri kembang
|
Sabtu (9)
|
14
sri kembang
|
18
sri kembang
|
16
sri kembang
|
13
sri agung
|
17
gigis wunu
|
Arti watak dan pasaran:
1.
Lakune
geni gedhe: watak baik, menggambarkan sumber kekuatan.
2.
Sri
kembang: watak baik, mengambarkan kemashuran.
3.
Sri
agung: watak baik, menggambarkan kemuliaan.
4.
Pathol:
watak buruk, menggambarkan bahaya.
5.
Peso:
watak buruk, menggambarkan bahaya.
Masyarakat Jawa Timur lebih milih
Jumat Legi adalah saat terbaik dengan karakteristiknya lakune geni gedhe untuk
mencari ilmu spiritual, sedangkan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta lebih
memilih Jum’at Kliwon dengan karakteristiknya sri kembang yang
melambangkan kemashuran.[19]
Hari Jumat sesuai angka neptu
berada di Tengah (pancer). Sedangkan Pasaran letak Kliwon juga berada di tengah
(pancer). Maka Jumat Kliwon adalah lambang dari diri pribadi sebagai Pancer.
Apabila neptu hari dan pasaran
di jumlahkan hasilnya adalah 75 (42+33=75), kemudian apabila dipecah (7 dan
5) merupakan simbol jumlah hari yang ada (7 hari) dan jumlah pasaran (5
hari). Selanjutnya kedua bilangan tersebut dijumlahkan, hasilnya adalah 12 (7+5=12),
angka tersebut merupakan simbol jumlah bulan dalan setahun (12 bulan).
Sementara itu saptawara dan pancawara jika melihat angka neptu
masing-masing akan saling berpasangan.
Minggu-Legi 5-5
Senin-Wage 4-4
Selasa- 3-
(tidak memili pasangan)
Rabu-Pon 7-7
Kamis-Kliwon 8-8
Jum’at 6-
(tidak memili pasangan)
Sabtu-Paing 9-9
Hari Jum’at dan Selasa apabila merujuk pada pasangan neptu maka
tidak mempunyai pasangan, sehingga disebut dengan dina (hari) sepi atau
disebut hari suci. Hari selasa berwatak sujana (artinya tidak percaya),
sedangkan hari Jum’at berwatak suci, artinya harus bersih segala tingkah
lakunya. Selain itu masyarakat Jawa menganggap hari Jum’at merupakan laku-nya
Nabi Muhammad SAW.[20]
Sehingga dianjurkan (melek=begadang) untuk melakukan amalan-amalan doa
atau dzikir.
Menurut kepercayaan Jawa, perhitungan hari pasaran yang berjumlah
lima tersebut, adalah senada dengan ajaran Sedulur Papat, Kelima Pancer (empat
saudara kelahiran, kelimanya pusat). Ajaran tersebut mengandung makna bahwa
badan manusia yang berupa wadag atau jasad lahir bersama empat unsur atau roh
yang berasal dari tanah, air, api, dan udara. Empat unsur itu masing-masing
mempunyai unsur di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat dipusat, yakni di
tengah. Lima tempat itu adalah juga tempat lima pasaran, maka persamaan tempat
pasaran dan empat unsur dan kelimanya pusat itu adalah:
1.
Pasaran
legi bertempat di Timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar
putih.
2.
Pasaran
paing bertempat di Selatan, salah satu tempat dengan unsur api, memancarkan
sinar merah.
3.
Pasaran
pon bertempat di Barat, salah satu tempat dengan unsur air, memancarkan sinar
kuning .
4.
Pasaran
wage bertempat di Utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar
hitam.
5.
Kelima
pusat atau Tengah, adalah tempat sukma atau jiwa, memancarkan sinar manca warna
(bermacam-macam).
Dari ajaran sedulur papat kelima pancer dapat telihat bahwa pasaran
kliwon yang tempatya di tengah atau pusat merupakan tempat jiwa atau sukma yang
memancarkan daya prabawa atau memberikan pengaruh kepada keempat saudara
lainnya (unsur sekelahiran).[21]
Masyarakat jawa mempunya makna yang terkait dengan perhitungan
waktu, sebab dalam perhitungan waktu terdapat hasil yang berupa lambang,
kemudian lambang tersebut memiliki makna yang tidak lain berkaitan dengan baik
dan buruk dan dilakukan atau harus dihindari.
Dasar sistem yang cukup berbelit belit ini terletak konsep
metafisik jawa yang fundamental: cocog (berarti sesuai). Dalam
pengertian yang paling abstrak dan luas, dua hal yang saling terpisah akan cocog
apabila perjumpaan mereka membentuk sebuah pola estetis (keindahan). Dengan
demikian apa yang penting dalam pandangan ini adalah hubungan alamiah antara
elemen-elemen yang terpisah-ruang, waktu, dan motivasi manusia-bagaimana mereka
diatur untuk menghasilkan paduan nada dan menghindari ketidak sesuaian.[22]
Dengan demikian untuk menghitung hari Jum’at Kliwon, dari contoh
diatas dapat diketahui hasil perhitungannya sebagai berikut:
1.
Warna-warni
pancaran energi cahaya kosmis hasilnya berwarna putih. Lambang putih ini
berpengaruh terhadap jiwa yang suci (spiritual).
2.
Menurut
watak atau lambang dari jenis hitungan, hari Jum’at memiliki watak suci (bersih
tingkah lakunya). Sementara Kliwon memiliki watak micara artinya dapat
mengubah bahasa. Selain itu apabila neptu hari dan pasaran di jumlahkan, hari
Jum’at Kliwon memiliki karakteristik sri kembang yang melambangkan
kemasyuran.
3.
Hari
Jum’at sesuai dengan neptu berada di tengah (pancer), dan neptu
pasaran Kliwon juga berada di tengah (pancer). Maka dikatakan bahwa
Jum’at Kliwon adalah peralmbang diri pribadi sebagai Pancer.
4.
Hari
Jum’at Kliwon termasuk dino sepi (tidak memiliki pasangan, kosong atau
suci).
Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut maka hari Jum’at Kliwon merupakan hari yang melambangkan kesucian.
Oleh karena itu sebagian masyarakat jawa menaganggap Jum’at Kliwon di percaya
keramat (khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta). Sebab waktu tersebut memacu
getaran emosi keramat dan memotivasi sebagian masyarakat Jawa melakukan ritual
yang berbau keramat, seperti tirakat, laku[23],
semedi, bertapa dan sebagainya untuk mencapai paraning-dumadi. [24]
Sebagai
mana hadits dari Abu Lubanah Al-Badri r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
Bersabda:
وعن ابي لبابة بن عبد المنذر- رضي الله عنه – قل: رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال: ان يوم الجمعة سيد الايام يوم الجمعة واعظمها عنده واعظم عند الله عز وجل من يوم
الفطر , ويوم الاضحى , وفيه خمس حلال: خلق الله فيه ادم واهبط الله فيه ادم الى
الارض وفيه توفى الله ادم وفيه ساعة لا يسال العبد فيها شيئا الا اتاه اله تبرك
وتعالى اياه مالم يسأل حراما: وفيه تقوم ( الساعة ) ما من ملك مقرب ولا سماء ولا ارض
ولا رياح ولا جبال ولابحر إلا هن ( يشفقن ) من يوم الجمعة.
Dari Abu
Lubabah Bin Abdul Mundzir r.a., dia berkata: Rasulullah saw
bersabda:Sesunguhnya hari jum’at adalah pemimpin hari dan yang paling agung di
sisi Allah, dan hari itu lebih agung di sisi Allah dari hari idul adha dan idul
fitri.
Didalamnya
terdapat lima perkara: Allah menciptaklan Adam pada hari itu, Allah menurunkan
Adam ke bumi pada hari itu, di hari itu
Allah wafatkan Adam, di hari itu ada saat yang tidaklah seorang hamba memohon sesustu
kepada Allah, melainkan Allah akan berikan padanya selagi tidak meminta sesuatu
yang haram. Dihari itu (Kiamat) akan terjadi, tidaklah seorangpun dari malaikat
yang didekatkan, langit, bumi, angin, gunung-gunung, pepohonan, kecualai mereka
semua (merasa takut) terhadap hari Jumat[25]. (HR. Ahmad dan Ibnu Majjah) serta ditakhrij oleh Ahmad
dari hadist Sa’ad Bin Ubadah dan para perawinya terpercaya lagi terkenal.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa hari Jum’at merupakan pemimpin bagi hari-hari yang
lainnya, dan hari yang diagungkan. Pada saat itu Allah menciptakan asal manuisa
(Nabi Adam), Allah mengkasihi hambanya dengan memberikan saat-saat yang di
kasihi bagi hambanya yang ingin berhubungan dengan-Nya dan pada hari itu juga ada
saat yang dimurkai Allah (kiamat).
Dengan
demikian hari jum’at kliwon adalah hari untuk memuja (panembah) Tuhan
(Gusti). Manusia ketika ingin berhubungan dengan Dzat Tuhan, maka
jiwa/sukma-nya harus bersih dari kotoran yang ada didalam pikiran dan perasaan.
Kotoran tersebut adalah dorongan nafsu Aluamah (nafsu angkara murka), Mutmainah
(kemurnian atau kejujuran), Amarah (nafsu cepat marah) dan Sufiah (nafsu
birahi).[26]
Oleh sebab itu hari jumat kliwon disebut juga pancer-nya hari, hari sepi
(tidak memiliki pasangan) yang memiliki sifat suci artinya netral tidak
memihak.
Nilai adalah
sesuatu yang menyangkut baik dan buruk. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang baik
dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Sistem nilai termasuk nilai budaya dan
merupakan pedoman yang dianut oleh setiap anggota masyarakat terutama dalam
bersikap dan berperilaku dan juga menjadi patokan untuk menilai dan mencermati
bagaimana individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. Oleh karena itu,
nilai dapat dilihat sebagai pedoman bertindak dan sekaligus sebagai tujuan
kehidupan manusia itu sendiri.[27]
Dalam kehidupan
masyarakat Jawa, penanggalan menjadi sesuatu yang sangat penting. Masyarakat
Jawa selalu berusaha mencari hari-hari yang paling baik dalam rangka melaksanakan
sesuatu yang menjadi keinginannya. Kehidupan orang jawa selalu terikat dengan
ruang dan waktu. Ruang berarti orang Jawa dalam setiap tingkah laku, yang dalam
kehidupannya selalu diatur berbagai aturan. Contoh orang jawa selalu memikirkan
tentang ruang ketika mencari jodoh, pindah rumah dan sebagainya. Sedangkan
waktu maksudnya orang Jawa memiliki pedoman dalam menentukan hari baik dan
buruk.[28] Seperti
yang dijelaskan Geertz, petungan merupakan cara untuk menghindari
semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa kemalangan.[29]
Oleh sebab
itu ketika masyarakat Jawa hendak melakukan suatu kegiatan pasti akan mencari
hari-hari yang baik, semua itu karena sifat hati-hati masyarakat Jawa untuk
mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan sehingga mendapatkan keselamatan
lahir dan batin. Maka tidak ada ukuran atau batasan untuk menentukan baik dan
buruk. jika melihat keteranga diatas baik dan buruk merupakan kesepakatan atau
pengakuan masyarakat.
1.
Baik
Dan Buruk Hubungan Dengan Tuhan
Sifat hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam ajaran Islam
bersifat timbal-balik, yaitu bahwa manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan
Tuhan juga melakukan hubungan dengan manusia. Tujuan hubungan manusia dengan
Allah adalah dalam rangka pengabdian atau ibadah.
Sebagaimana ungkapan dalam bahasa Jawa yang
menggambarkan hubungan baik dan buruk hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu “adoh tanpa wangenan, cedhak dhatan senggolan artinya jika seseorang tidak percaya akan adanya Tuhan, keberadan
Tuhan tidak dapat dibayangkan karena begitu abstrak (adoh tanpa wangenan) .
Sebaliknya, jika seseorang percaya akan adanya Tuhan meskipun tidak dapat
bersentuhan secara fisik tetapi dapat dirasakan keberadaannya setiap saat (cedak
dhatan senggolan).[30]
Ungkapan tersebut mengingatkan penulis pada ungkapan peribahasa
yaitu “ sopo nandhur bakal ngundhuh”. artinya siapa yang menanam
kebaikan atau keburukan akan mendapat hasilnya berupa kebaikan atau keburukan.
Menurut Pranowo dalam Ni Wayan Sartini, ungkapan tersebut melatarbelakangi
tentang adanya ketidakmampuan manusia menerangkan seluruh gejala alam yang
dilihat dan dirasakannya, keinginan manusia untuk mencari sandaran hidup yang
dapat menentukan karsa, cipta dan karyanya, serta adanya kedekatan hubungan antara
orang Jawa dengan Sang Maha Pencipta.[31]
2.
Baik
Dan Buruk Hubungan Manusia Dan Alam
Konsep mengenai nasib yang telah dibicarakan diatas juga menentukan
sikap orang Jawa terhadap kekuatan alam. Orang Jawa lebih memilih menyesuaikan
diri, walaupun demikian bukan berarti mereka tidak memiliki rasa untuk takluk
terhadap kekuatan alam, hanya saja mereka tidak memiliki kemampuan untuk
menganalisa, sehingga mereka lebih memilikih untuk hidup berdampingan dengan
alam.
Sebagai contoh, orang jawa merasa berkewajiban memayu-ayuning
bawana (artinya memperindah keindahan dunia).[32]
Artinya orang jawa memiliki kewajiban untuk memelihara dan memperbaiki
lingkungan fisiknya, seperti pekarangan, sungai, jalan, desa dan sebagainya.
Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan, orang wajib memelihara
lingkungan spiritualnya, yakni adat, tatacara,cita-cita dan nilai budaya yang
umum terdapat dalam masyarakat.[33]
Dengan demikian mereka telah melakukan usaha yang paling berarti dalam hidup,
yaitu berusaha hidup selaras walaupun mereka sadar ada yang tidak dapat
dihindari dari alam, berupa bencana alam yang membawa kehancuran dan maut.
3.
Baik
Dan Buruk Hubungan Manusia Dengan Sesamanya
Tingkah-laku dan sopan santun orang jawa memang sangat terorientasi secara kolateral (sejajar). Hal
yang menonjol dari cara berfikir seperti itu menunjukan bahwa perasaan orang
tidak berada sendiri di dunia, dan ia
selalu dapat mengaharapkan bantuan dari sesamanya, terutama kerabat
dekat dan tetangga dekatnya, yang sebaliknya juga mengharapkan hal yang sama.
Dengan demikian wajib menjaga hubungan baik dengan memperhatikan kebutuhan
mereka dan menempatkan diri pada keadaan mereka (tepa slira).[34]
Upaya tersebut merupakan bentuk bahwa orang Jawa memiliki cara
berfikir untuk menghindari kaidah atau kekuatan alamiah yang disebut kuwalat.
Oleh karena itu ada ungkapan yang mengatakan “tiyang sepuh punika malati”
artinya orang tua itu menyebabkan kuwalat.[35]
Sikap tersebut menunjukan bahwa orang Jawa memiliki sifat bertanggung jawab
atas kebaikan pada diri sendiri, dengan memperhatikan hubungan baik dan
menempatkan posisinya terhadap sesamanya, karena penilaian orang Jawa terhadap
sesuatu yang negatif adalah mereka tidak memiliki nilai budaya kolateral dengan
manusian dan lingkungannya.
Hari Jum’at Kliwon sesuai dengan
ajaran sedulur papat kelima pancer, dapat dimaknai sebagai
pusat spiritual (sukma sejati) yang bersifat netral (tidak bersifat positif dan
tidak bersitat negatif), pancer yang dilambangkan juga dengan
ego-manusia. Hari Jum’at Kliwon adalah wadah untuk mendapatkan ilmu sejati,
untuk mencapai Sangkan-Paraning-Dumadi. Maka paraning
manusia adalah Tuhan, sehingga hari Jum’at Kliwon adalah hari-Nya Tuhan. Hari
yang sepi, hari yang suci untuk menjalin hubungan harmonis antara kawula
(Manusia) dan Gusti (Tuhan) secara penuh.
Hari jum’at Kliwon adalah hari yang
suci, hari yang tepat untuk memulai laku, menetralkan segala urusan yang
bersifat keduniawian, melalui kebersihan hati dan tindakannya. Karena hati
yang suci merupakan hubungan yang serasi antara manusia dan Tuhan.
Kebaikan atau keburukan yang hadir
dalam diri masyarakat Jawa sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap
mereka, karena mereka yakin bahwa perilaku manusia dan berhasil tidaknya
manusia dalam menjalankan suatu hal ditentukan oleh tatanan hubungan terhadap
Tuhan atau kekuatan supranatural tersebut.
Al Asqalani,
Alhafizh Syihabbudin Ahmad bin Ali bin Hajar.2006. Mukhtashar At-Atarghib Wa
At-Tarhib, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Clifford
Geertz. 2017. Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa,
Depok: Komunitas Bambu.
Karkono
Kamajaya Partokusumo.1995. Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam,
Yogyakarta: IKAPI.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai
Pustaka.
Soemodidjojo.
2014. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Yogyakarta: Soemodidjojo
Mahadewa.
Soesilo.
2004. Kejawen; Philosofi Dan Perilaku,
Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri.
Sri Wintala
Achad. 2017. Asal Usul Dan Sejarah Orang Jawa, Yogyakarta: Araska.
Wiyasa
Bratawijaya, Thomas. 1998. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Eli Fatmawati, Makna
Mitologi Ahad Wage Di Desa Jragung Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak,
Semarang: 2014, hlm. 9. Di unduh dari eprints.walisongo.ac.id/3854/
pada kamis 22 Desember 2017. Pukul 20.00 WIB.
Sahid Teguh
Widodo, Petangan Tradition In Javanese Personal Naming Practice; An
Ethnoliguistic Study, dalam GEMA Online Tm Journal Of Language Studies Volume
12(4), November 2012. Diunduh dari
https://www.researchgate.net/publication/286611457_Petangan_tradition_in_Javanese_personal_naming_practice_An_ethnoliguistic_study
https://kyaimbeling.wordpress.com/mitologi-pasaran-dan-hari/ diunduh pada 19 Juli 2017 pukul 22.00 WIB
https://glang1991.wordpress.com/2013/01/10/hari-menurut-spiritual-jawa/ di unduh pada Rabu 4 Januari 2017 pada 22.00 WIB.
https://s3.amazonaws.com/academia.edu/Bahasa-dan-Sastra-Logat-Vol-5-No-1-April-2009.pdf diunduh pada Rabu 4 Januari 2017 pada 22.00 WIB.
[1]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm.
439.
[2]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....hlm. 341.
[3] Selametan
memiliki sifat keramat dan tidak memiliki sifat keramat. yang bersifat keramat
adalah selametan yang mana orang mengadakannya merasakan getaran emosi
keramat, terutama pada waktu menentukan diadakannya selametan tersebut
(rangkaian upacara kematian pada hari ketujuh, ke empat puluh, keseratus,
keseribu). Sementara selametan yang tidak bersifat keramat adalah selametan
yang mana orang mengadakannya tidak merasakan getaran emosi keramat (pernikahan
dan lain-lain). Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa,hlm. 347.
[4] Clifford
Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa,
Depok: Komunitas Bambu, 2017, hlm. 3.
[5] Clifford
Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, hlm.
32.
[6] Sri Wintala
Achad, Asal Usul Dan Sejarah Orang Jawa, Yogyakarta: Araska, 2017, hlm.
129.
[7]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....hlm. 441.
[8] Karkono
Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam, Yogyakarta:
IKAPI, 1995,hlm. 191.
[9] Karkono
Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam, hlm.
193.
[10] Karkono
Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam....hlm.
257.
[11]
Sri Wintala
Achad, Asal Usul Dan Sejarah Orang Jawa....hlm. 15.
[12] Sahid Teguh
Widodo, Petangan Tradition In Javanese Personal Naming Practice; An
Ethnoliguistic Study, dalam GEMA Online Tm Journal Of Language Studies
Volume 12(4), November 2012. Diunduh pada
Rabu 4 Januari 2017 pada 22.00 WIB.
[13]
Thomas Wiyasa
Bratawijaya, Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1988, hlm. 64.
[14] Eli Fatmawati,
Makna Mitologi Ahad Wage Di Desa Jragung Kecamatan Karangawen Kabupaten
Demak, Semarang: 2014, hlm. 9. Di unduh dari eprints.walisongo.ac.id/3854/
pada kamis 22 Desember 2017. Pukul 20.00 WIB.
[15] Soemodidjojo, Kitab
Primbon Betaljemur Adammakna, Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa, 2014, hlm.
7.
[16] Eli Fatmawati,
Makna Mitologi Ahad Wage Di Desa Jragung Kecamatan Karangawen Kabupaten
Demak, Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2014, hlm. 10.
[17] https://kyaimbeling.wordpress.com/mitologi-pasaran-dan-hari/ diunduh pada
tanggal 19 juli 2017 pukul 22.00 WIB
[18] Karkono
Kamajaya Prtokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Kliwon......
hlm. 229.
[19] https://glang1991.wordpress.com/2013/01/10/hari-menurut-spiritual-jawa/ di unduh pada
Rabu 4 Januari 2017 pada 22.00 WIB.
[20] Karkono
Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam....hlm.269.
[21] https://kyaimbeling.wordpress.com/mitologi-pasaran-dan-hari/ diunduh pada
19 Juli 2017 pukul 22.00 WIB
[22] Clifford
Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, hlm.
32.
[23] Perkataan Laku
dalam bahasa Jawa berarti jalan, ada yang berarti perbuatan. Lku yang dimaksud
disini adalah tindakan untuk mengkontrol diri pribadi untuk mengurangi atau
mencegah tuntutan kepentingan jasmaniah, dan mengurangi keinginan hawa nafsu,
sehingga laku disini adalah sarana untuk membangkitkan kekuatan rohaniah dengan
menyembah Tuhan sehingga memperkuat permohonan kepada tuhan agar terkabulkan
pengharapannya. Lihat Soesilo, Kejawen; Philosofi Dan Perilaku,
Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri, 2004, hlm.29.
[24] sangkan
paraning dumadi memiliki arti harfiah sangkan (asar atau dasar), paraning
(tujuan), dan dumadi (hidup). dengan demikian, hal tersebut memiliki
pengertian asal dan tujuan kehidupan manusia dalam jagad raya. Lihat Sri
Wintala Achad, Asal Usul Dan Sejarah Orang Jawa....hlm. 132.
[25] Al Asqalani,
Alhafizh Syihabbudin Ahmad bin Ali bin Hajar, Mukhtashar At-Atarghib Wa
At-Tarhib, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006, hlm. 138-139.
[27] Ni Wayan
Sartini, Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan,
Saloka Dan Paribasa , dalam Jurnal Ilmu Bahasa Dan Sastra, Volume V, No. 1,
April 2009, hlm. 30. di unduh dari https://s3.amazonaws.com/academia.edu. Bahasa dan
Sastra Logat Vol 5 No 1 April 2009.pdf
[28] Eli Fatmawati,
Makna Mitologi Ahad Wage Di Desa Jragung Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak,
hlm.18.
[29] Clifford
Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, hlm.
32.
[30]
Ni Wayan
Sartini, Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan,
Saloka Dan Paribasa....hlm. 34.
[31]
Ni Wayan
Sartini, Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan,
Saloka Dan Paribasa....hlm. 35
[32]
Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa....hlm. 438.
[33]
Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa....hlm. 438.
[34]
Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa....hlm. 441.
[35]
Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa....hlm. 442.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar